Subscribe:

Labels

Wednesday 29 January 2014

Cinta itu Selalu Sederhana


Ijinkan saya mengungkapkan satu hal saja yang cukup membingungkan bagi diri saya pribadi. Siapa tahu di antara kalian ada yang berkenan membantu saya menemukan jawaban atas persoalan yang sepertinya sangat sederhana ini. Namun sebelumnya, saya tegaskan di sini bahwa saya tidak sedang membuat sebuah generalisasi terhadap realita yang ada di sekitar kita. Saya hanya menyajikan sudut pandang saya pribadi yang boleh jadi sangat keliru dan menyimpang jauh dari dalil-dalil kebenaran dan logika. Saya perlu untuk belajar. Dan untuk itulah saya perlu untuk bertanya pada Anda yang lebih tahu daripada saya. . .

***

Hmm...boleh jadi sampai detik ini masih banyak orang yang berjibaku, berjuang sekuat tenaga, berkorban waktu, materi, tenaga, demi mengusung misi pembuktian cinta. Dalam misi ini, tak sedikit di antara mereka yang meluangkan banyak waktunya demi mengantarkan sang pujaan hati kesana kemari dengan motor kesayangan pembelian orangtuanya. Tidak sedikit pula yang saling bertukar bingkisan, coklat, dan kue tart setiap hari ulang tahun atau valentine. Sebagian lagi merelakan uang tabungannya untuk 'sedikit' berbagi makanan dengan sang pujaan hati di restoran/cafe-cafe berhiaskan temaram lampu-lampu 10 Watt. Tak sedikit pula yang setiap malam minggu berdandan rapi, wangi, dengan parfum yang mengusik hidung dan pakaian paling modis. Kemudian, sambil bersiul dan berdendang, ia melangkahkan kaki menuju rumah sang pujaan hati. Kencan, apel, ngedate, hang out, whatever lah namanya.

Haruskah semua itu dilakukan untuk membuktikan cinta itu sendiri? apa tidak ada cara lain yang lebih sederhana untuk memahami hal ini?

Mungkin dengan cara seperti inilah kita bisa meyakinkan diri bahwa orang yang kita cintai akan tetap kita miliki dan tetap mencintai kita. Sempurna, tidak berpaling, tidak berpindah ke lain hati. Ya, saya pikir sudah banyak orang yang beranggapan bahwa cinta itu harus dibuktikan dan diperjuangkan. Hati yang selalu memendam gelisah membutuhkan lebih banyak 'obat penenang' untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai akan selalu dekat dan tetap kita miliki.

Lihatlah, banyak muda-mudi sekarang yang begitu gampang galau, gelisah hanya karena sang pujaan hati tak kunjung membalas SMS. Ada saja orang-orang yang gusar ketika orang yang dicintainya sedang mojok, asyik ngobrol dengan seseorang yang bukan diri kita. Betapa banyak yang lamaa sekali menggenggam HPnya erat2, sambil sesekali melongok layar HP, menghidupkan layar sekedar mengecek apakah ada sms masuk atau tidak. Berapa banyak orang yang melototin layar leptop, sibuuk sekali online di jejaring sosial, hanya demi menunggu balasan coment dari orang yang sedang dijatuh cintai? Lebay? Tidaak, tidak ada yang mengira ini sesuatu yang lebay terutama bagi mereka yang tengah kasmaran. Begitulah...

Namun sebongkah keheranan menyeruak dalam benak saya. Lihatlah ibu bapak, kakek nenek (bagi yang masih punya), atau orang2 tempo doeloe lainnya di mana saat itu TV dan HP adalah barang yang sangat langka. Lihatlah mereka yang entah bagaimana hanya dengan prosesi sederhana: melamar, tunangan, menikah, saling berkasih sayang, lantas mengarungi bahtera rumah tangga. Hidup bersama, membesarkan anak-anaknya dengan penuh gurat kebahagiaan di wajahnya. Saya sendiri merasa termasuk salah satu produk yang dihasilkan dari proses sederhana itu. Membahagiakan sekali.

Tak perlu ada hubungan penjajakan seperti pacaran, HTS, LDR, dsb. Tak ada even bagi2 coklat di tanggal 14 Februari. Tak ada acara traktir-traktir makan yang menghabiskan beribu-ribu perak. Tak ada pula aktivitas ojek2an (baca: antar jemput sana sini). Tak ada...dan memang sepertinya semua itu tidak diperlukan untuk sekedar membuktikan cinta. Tak perlu semuanya. Singkatnya: AKU+KAU = KUA !? Sesederhana itu. Bayangkan betapa herannya saya saat ini melihat paradoks sosial ini...

Hmm...seperti memutar ulang film-film percintaan tempo doeloe, adakah kini kita temui sepasang muda-mudi yang tanpa sengaja bertemu di halte bus, kemudian saling tersipu-sipu malu dengan raut muka yang memerah? Adakah kini kita temui sepasang muda-mudi yang saling salah tingkah ketika berpapasan dengan pujaan hatinya namun tak kuasa untuk mengungkapkan perasaannya? Si cowok berpura-pura menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terasa gatal hanya untuk menyembunyikan kegugupan dan wajah yang bersemu merah di hadapan wanita yang dikaguminya. Adakah kini kita temui sepasang muda-mudi yang di tengah lalu lalang orang di jalan mencoba menunggui sang pujaan hati lewat dengan harapan ia akan berpapasan dengannya? Adakah kini kita temui sepasang muda-mudi yang memendam rapat-rapat cintanya dan seketika tersontak girang karena orang yang dikagumi itu mengajukan diri untuk menjadi pendamping hidupnya?

Cinta bukanlah matematika. Cinta tidak pernah pasti kapan datangnya dan kapan perginya. Lihatlah, banyak orang yang mengaku mencintai seseorang, namun ketika hubungan itu kandas, entah kenapa selang beberapa waktu kemudian ia bisa membangun kembali hatinya untuk kemudian mengaku cinta pada orang lain. Lihatlah orang yang jatuh cinta berkali-kali, kemudian berusaha mati-matian untuk mendapatkan orang yang dicintai namun akhirnya bertepuk sebelah tangan.

Di sisi lain tidak sedikit mereka yang secara ekstrim langsung menjalin ikatan pernikahan tanpa sekalipun pernah saling mengenal sebelumnya. Entah karena keyakinan pada firman Tuhan atau karena alasan lain, akhirnya dengan penuh tanggung jawab dan komitmen kuat untuk saling bersama mereka dapat menjalin hubungan yang serius, penuh kebahagiaan, dan melahirkan anak-anak yang lucu yang tertawa dengan riangnya, sembari memintal benang-benang masa depan.

Inilah kebingungan saya selama ini. Kebingungan yang mengundang berjuta tanya yang belum terjawab. Saya tidak bermaksud sok suci, sok alim dengan mengatakan pacaran itu haram, terlarang dan sebagainya. Buang jauh-jauh asumsi itu. Saya hanya ingin mengajak Anda berpikir sejenak. Merenungkan diri ini, merenungkan apa-apa yang telah kita jalani, mengenang pengalaman-pengalaman ketika pertama kali kita jatuh cinta, kemudian dengan penuh kearifan kita pun bertanya: "Apakah saya benar-benar mencintainya? Ataukah saya hanya dipermainkan oleh egoisme pribadi, perasaan emosional, dan obsesi kuat yang menuntut pemenuhan kebutuhan akan kehadiran sang pujaan hati dalam kehidupan kita?"

Sekali lagi saya bertanya: "Siapakah yang bisa memastikan bahwa orang yang ditakdirkan menjadi pasangan hidup kita adalah orang yang sama dengan orang yang sedang kita cintai saat ini?"


Jogja, 14 Februari 2013 di tengah rintik-rintik gerimis

0 comments:

Post a Comment