Subscribe:

Labels

Friday 15 August 2014

Tentang Narsis dan Sebangsanya


Saya ingin jujur di sini. Saya bukan tipe orang yang hobi jeprat-jepret di depan kamera alias selfie. Ritual hadap kamera, kemudian pasang tampang terunyu adalah sesuatu yang jarang saya lakukan. Boleh jadi saya menjauhi selfie karena nggak pede dengan tampilan wajah saya. Eh, tapi saya pribadi merasakan phobia kamera sejak kecil. Ini yang membuat aneh. Jangan-jangan saya memang tidak berjodoh dengan kamera. Jangan-jangan saya memang tidak dikehendaki untuk narsis di sembarang tempat.

Salah seorang teman SMP saya punya motto unik. Di buku kenangan SMP dia menulis motto: “Narsis lebih baik daripada munafik.” Ah, saya kurang begitu tahu untuk siapa motto ini dia tujukan. Yang jelas, membandingkan narsis dan munafik terlihat sangat aneh.

Seperti yang kita tahu bahwa narsis identik dengan pamer (kadang2). Narsis di monas, jepret. Narsis di Tokyo, jepret. Narsis di Mekkah, jepret. Narsis everywhere, menunjukkan ke semua orang bahwa gue pernah ke tempat-tempat ini. Atau dalam hal kuliner misalnya, makan di resto mewah jepret. Makan di pucuk Burj Khalifa di Bahrain, jepret. Atau makan di stasiun luar angkasa Amerika dengan gravitasi nol, jepret (tumpah-tumpah makanannya).

Narsis boleh dibilang sudah menjadi gaya hidup manusia modern belakangan ini. Teknologi kamera yang semakin canggih dan terintegrasi dengan perangkat sejuta umat (HaPe) membuat tren jepret-jepret menjadi jamak dilakukan. Tak peduli ada berita ABG menjadi korban pelecehan karena mengunggah foto mesumnya bla bla bla, fenomena narsis tetap menghinggapi perilaku orang banyak.

Balik lagi ke kasus saya. Berhubung saya tidak suka narsis, canggung di depan kamera, saya jadi sempat mikir kalau saya mungkin mengalami pengalaman mistis seperti tokoh utama di film Insidious. Di film horror ini pemeran utama (sebut saja Bagus) dikejar-kejar oleh sesosok makhluk astral yang sempat memperlihatkan diri dalam foto Bagus saat kanak-kanak. Penampakan selalu mewarnai foto narsis Bagus. Karena itu, foto-foto Bagus kemudian disembunyikan oleh ibunya karena ditengarai menimbulkan hal yang tidak-tidak. Hingga Bagus dewasa, makhluk astral yang menguber-uber Bagus belum juga pergi.

Ah, sudah mulai horror nih jadinya. Boleh jadi kalau nanti ada yang minta foto bareng saya, jangan heran ya, kalau muncul sesosok putih-putih atau hitam legam berbulu. Boleh jadi itu makhluk astral yang menugber-uber jiwa saya sehingga saya phobia sama kamera. Hihihi...

Akhir kata, narsis boleh-boleh saja. Tapi inget lho, tetap menjunjung tinggi etika dan norma kesopanan yang berlaku di masyarakat. Hati-hati fotonya disalahgunakan orang tidak bertanggung jawab.

0 comments:

Post a Comment