Subscribe:

Labels

Sunday 28 June 2015

Kebencian 'Setengah-Setengah'

Sungguh aku tak mau menghabiskan sisa umurku dalam dekapan kebencian.
Ikhlaslah engkau memaafkan dan biarkan aku berbaring dalam dekapan kedamaian
(Hatake Niwa)

“Jangan pernah membenci orangnya, bencilah sifatnya” kata AA Gym. Ketika saya menshare tentang hal tersebut di media sosial, seorang teman menanyakan kepada saya, Bagaimana caramu memisahkan kedua hal itu?”

Well, dalam interpretasi saya, apa yang dimaksudkan AA Gym adalah sebuah konsep membenci dengan  bijaksana. Membenci adalah respon wajar seseorang ketika menemui sesuatu yang tidak disukainya. Boleh jadi karena sesuatu itu bertentangan dengan standar-standar nilai atau moral yang kita anut. 

Misalnya kita punya standar moral bahwa tepat waktu adalah keharusan. Kemudian kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus bekerja dengan seseorang yang tidak menghargai standar nilai yang kita anut. Rekan kerja kita ini punya kebiasaan datang terlambat dan tidak peduli pada kejaran deadline. Sebut saja rekan kita ini Sukir (maaf jika ada kesamaan nama).

Sebagai orang yang memiliki standar moral tentang disiplin, kita pasti muak melihat kelakuan Sukir. Sekali dua kita pasti akan menegurnya. Tapi ketika teguran demi teguran tidak diindahkan, sangat wajar bila kita membenci Sukir yang semau gue tadi. Tapi, jika kita sudah membenci Sukir, selanjutnya apa? Di sisi lain kita satu kantor dengan Sukir. Suka atau tidak setiap hari kita pasti bertemu dengannya. Mungkin saja kita akan mengadu pada atasan perihal kinerja Sukir yang keterlaluan. Tapi karena kita segan dicap tukang ngadu, kita urungkan niatan mengadu.

Pada kondisi ini kita punya dua pilihan. Pertama, kita bisa membenci manusia yang bernama Sukir seutuhnya. Artinya di mana pun Sukir berada kita akan langsung memasang aura kebencian di wajah kita. Jangankan menyapa, berjabat tangan pun tidak ikhlas. Kedua, kita bisa membenci ketidakdisiplinan Sukir saja. Ketika bertemu dengan Sukir, kita tetap memperlakukannya sebagai orang baik-baik.

Kebencian yang pertama terlihat terang-terangan. Kita menampakkan kebencian pada Sukir dengan perilaku kasat mata. Boleh jadi semua orang di kantor—termasuk Sukir—juga tahu kita sangat membenci Sukir. Kebencian yang kedua agak munafik. Kita memang membenci Sukir tapi tidak sampai menampakkan kebencian itu dalam pergaulan sosial.

Kedua hal di atas adalah pilihan. Setiap orang berhak memilih kebencian seperti apa yang akan ditimpakan pada Sukir. Bagi yang suka terang-terangan menunjukkan emosinya, pilihan pertama adalah pilihan paling rasional. Sementara bagi mereka yang kadar sungkan atau pekewuh-nya di atas rata-rata, maka mereka pasrah pada pilihan kedua.

Dalam pemahaman saya, kebencian pertama yang terang-terangan cenderung berpotensi menjadi sesuatu yang destruktif. Okelah, Sukir memang salah. Sikapnya yang tidak disiplin lebih sering merugikan rekan kerjanya. Kita berhak membencinya. Tapi bisakah kita atur kadar kebencian itu sebatas pada sifatnya? Artinya seperti pilihan kedua, kita hanya membenci ketidakdisiplinan Sukir tapi dalam pergaulan kita tetap baik pada Sukir.

Tidak mudah menerapkan konsep membenci ‘setengah-setengah’ ini. Ketika kita sudah membenci, biasanya kebencian itu akan tampak lahir batin. Tidak hanya benci sifatnya tapi juga benci orangnya.

Tapi di sisi lain, kita pun harus memahami bahwa kita tidak akan pernah bisa memaksa setiap orang berlaku sesuai standar nilai dan moralyang kita anut. Sehebat apapun kita, kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang-orang sepenuhnya. Orang-orang akan selalu berperilaku sesuai standar mereka masing-masing. Bahkan para Nabi—manusia pilihan Tuhan—pun tidak mampu membuat seluruh penduduk bumi beriman. Yang bisa kita lakukan sebatas memberi peringatan, menegur, menuntut, dan memberi tindakan koersif (paksaan)—meski semua itu tetap tidak menjamin kepatuhan orang lain pada standar nilai dan moral yang kita anut.

Kembali pada kasus Sukir. Bisa saja kita memilih untuk membenci Sukir lahir batin, menggunjingkan tabiat buruknya dan membiarkan seluruh kantor tahu betapa kita sangat membenci Sukir. Boleh jadi Sukir pun tahu kita membencinya. Tidak mengherankan jika kelak pergaulan kita dengan Sukir lebih sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran.

Untuk menghindari pertengkaran dan perdebatanyang tidak perlu itulah, alangkah bijaknya jika kita membatasi kebencian kita pada Sukir. Benci tetap benci, tapi sekedar pada sifatnya yang tidak disiplin di tempat kerja. Di luar itu kita bisa memilih untuk memaklumi pribadi Sukir dan memperlakukannya baik-baik. Untuk apa

Tapi perlu dicatat bahwa kebencian ‘setengah-setengah’ ini sifatnya terbatas. Hanya ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekat seperti keluarga, saudara, mertua, menantu, dan rekan kerja. Di luar itu, kita tidak bisa membenci ‘setengah-setengah’ pada orang yang jelas-jelas melakukan tindak kriminal dan melanggar konsensus umum masyarakat seperti para koruptor, pencuri, perampok dan pembunuh.

Poin penting yang ingin saya sampaikan dalam uraian ini adalah pentingnya sikap selektif dalam membenci sesuatu. Jangan sampai hubungan baik kita dengan orang lain rusak karena kebencian itu sendiri. Mau tak mau kita harus belajar memaklumi dan memaafkan tabiat buruk orang lain. Kalau pun kebencian itu harus ada, maka bencilah sekedar membenci sifatnya. Tidak perlu terang-terangan menampakkan kebencian itu yang boleh jadi dapat merusak hubungan kita dengan orang lain.

Lagipula, bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup dengan kebencian yang berlarut-larut? Bukankah hidup akan lebih indah jika kita mulai belajar untuk memaafkan dan berlapang dada?

0 comments:

Post a Comment