Subscribe:

Labels

Monday 26 October 2015

Tentang Cinta dari Dunia Maya


“Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada,  cinta tak akan pernah tercipta
dalam hitungan tahun bahkan abad.
(Kahlil Gibran)

Hari sudah semakin sore. Lorong-lorong kampus sudah sepi. Kebetulan ini hari Jumat, hanya beberapa jurusan yang membuka kelas sore. Aku tercenung sendirian di lantai 2, di depan ruang penyimpanan barang. Tempat yang selalu kupilih untuk menyendiri karena kesunyiannya. Begitu sunyinya, membuatku menerawang jauh mengingat fragmen-fragmen masa laluku. Masa lalu yang seharusnya tidak pernah kuingat.

Seperti sebuah film hitam putih—kenangan-kenangan itu terputar begitu saja. Rasa-rasanya, kejadiannya baru kualami kemarin. Tanpa terasa semua itu telah berlalu. Ya, waktu memang berlalu begitu cepat dan hanya menyisakan dua hal: kenangan atau—penyesalan.

“Masih mencoba untuk melupakan masa lalu?” Suara temanku membuyarkan nostalgiaku.

“Eh…apa?” aku beringsut menoleh setengah kaget.

“Yang kau lakukan itu.” Agaknya temanku hafal membaca pikiranku.

“Bukan urusanmu!” Aku mendengus sebal.

“Ah, sikapmu selalu saja begitu. Sok tegar, meski hatimu tak pernah damai.”

“Hey, sejak kapan kau berubah menjadi pria yang peduli?” kataku ketus.

“Sejak kita berkenalan.”

“Sudah basa basinya? Ada perlu apa kau menemuiku? Tak biasanya.”

“Baiklah, aku hanya ingin bertanya. Menurutku kau yang paling tahu di antara teman-temanku yang lain.” Wajah pria di hadapanku menjadi serius.

“Kalau kau ingin menanyakan tentang keburukan seseorang, kau salah tempat.”

“Bukan itu. Aku hanya minta tanggapanmu. Apa kau percaya cinta dari dunia maya?”
Aku mengernyitkan dahi.

“Maksudmu?”

“Itu…Cinta yang muncul karena komunikasi yang intens di dunia maya.”

“Hm…aku belum pernah mengalaminya.” Jawabku pendek.

“Anggaplah kau sedang mengalaminya sekarang.” Temanku mencoba membujukku bicara.

Sebenarnya aku malas membahas persoalan perasaan. Jika pria yang berdiri di hadapanku bukan teman baikku, tak sudi kulanjutkan percakapan itu.

“Hei, bukankah sudah lama kau tahu kalau aku seorang yang sangat rasional? Lantas bagaimana mungkin aku bisa merasakan cinta hanya dari komunikasi dunia maya? Aku bukan lelaki gampangan semacam itu.”

“Ini bukan perkara gampangan atau tidak. Aku hanya menanyakan, apa kau percaya bahwa cinta bisa muncul dari dunia maya?”

“Tentu saja bisa. Tapi itu tak lebih dari proses bertemunya “perhatian” dengan “perhatian.”

“Maksudnya?” giliran temanku yang mengernyitkan dahi.

“Sederhananya, siapa sih yang tidak gembira jika  mendapat perhatian dari seseorang? Apalagi jika perhatian itu berlangsung secara intens. Padahal kau tahu, rumus agar orang bisa jatuh cinta itu sederhana. Berikan ‘perhatian dan kepedulian’ Jika yang kau cinta orang yang waras nuraninya, lama-lama dia akan luluh juga.”

“Segampang itukah? Kalau begitu, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Apa kau tidak salah orang menanyakan hal itu pada seorang lajang yang bahkan tidak punya pacar sepertiku?”

“Oh, ayolah. Aku malah lebih percaya pada kata-katamu karena jawabanmu murni dari rasionalitas pikiran yang tidak terecoki sisi emosional tertentu. Sekali lagi kutanya, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Tergantung. Setiap diri kita tidak pernah bisa memastikan masa depan. Cinta sejati, jodoh, urusan perasaan, semuanya jauh lebih rumit dari relativitas Einstein. Kau tak akan mendapat jawaban jika kau menggunakan pendekatan rasional untuk memahami urusan perasaan. Memangnya kau sedang jatuh cinta dengan gadis di dunia maya?”

“Entahlah, kukira begitu.”

“Sudah pernah bertemu?”

“Belum.” Temanku menggeleng.

“Saranku, berhentilah berangan-angan. Jangan simpulkan apapun tentangnya sampai kau menemuinya. Urusan perasaan terlalu rumit jika kau jadikan meja taruhan.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hah? Aku? Jangan konyol. Pembicaraan ini tidak menyinggung tentangku melainkan dirimu.”

“Aku dengar kau sempat bertemu dengan gadis yang kau kenal dari dunia maya. Teman chatmu?”

“Entahlah. Aku malas membicarakannya. Dia orang yang berbeda dengan ‘dia’ yang kukenal di dunia maya.”

“Kau menyukainya?” Temanku malah menginterogasiku.

“Bodoh! Sudah lama aku tak mempercayai dongeng-dongeng cinta di masa kecil. Omong kosong jika kita membahas cinta tanpa membahas komitmen! Sudah, pembicaraan ini sampai di sini.”


Aku beringsut pergi. Temanku hanya melongo. Terpaku di tempat yang sama ketika aku menerawang mengingat-ingat masa lalu. Pria yang tengah berdiri di sana, mungkin jauh lebih menderita daripada aku.

0 comments:

Post a Comment