Subscribe:

Labels

Monday 15 February 2016

Bocah-Bocah yang Tersisih


Bagaimana mungkin aku berpikir untuk hidup menyendiri.
Karena hakikat manusia, kita selalu membutuhkan satu sama lain.”
(Hatake Niwa)

Saat SMP saya pernah memiliki seorang teman, sebut saja Jimmy (bukan nama sebenarnya). Saya sempat beberapa kali menjadi teman sebangku Jimmy. Biasanya, tidak ada yang mau duduk sebangku dengan Jimmy (termasuk saya). Hanya murid yang datang paling akhirlah yang akan duduk sebangku dengannya. 

Sulit untuk mengatakan saya menikmati duduk di sebelah Jimmy. Dia tidak seperti anak-anak lain seusianya. Jimmy sangat polos, pemalu, dan cenderung kekanak-kanakan. Topik obrolan yang disukainya payah dan tidak sesuai dengan selera teman-temannya. Mimik wajahnya sayu, seakan-akan mengajak orang-orang untuk menindasnya beramai-ramai. Di awal-awal perkenalan, saya juga sempat menganggap Jimmy anak yang aneh.

Karena kepribadiannya yang ‘berbeda,’ Jimmy menjadi murid yang sering mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari teman-temannya. Saya sering melihat teman-teman Jimmy berbuat usil padanya. Ada yang mengejek, membuat lelucon sarkas tentang Jimmy, sampai beramai-ramai melempari Jimmy dengan kapur. Beberapa kali anak malang itu kedapatan menangis karena tidak tahan dengan perlakuan teman-temannya (saat itu saya belum tahu kalau perbuatan teman-teman saya termasuk bullying).

Jimmy juga sering tersisih dari pergaulan. Jimmy jarang diajak teman-temannya ke kantin. Dalam class meeting, dia tidak diikutkan turnamen apapun karena payah dalam olahraga. Begitu juga saat teman-temannya sibuk membuat band untuk ujian praktik seni musik. Tidak ada yang mau melibatkan Jimmy. Pada akhirnya, setelah tiga tahun Jimmy tetap kesulitan mendapat penerimaan dari lingkungan pergaulannya.

Padahal, Jimmy tidak seburuk perkiraan teman-temannya. Suatu hari, Jimmy mengajak saya untuk mampir ke rumahnya. Saat itu, saya baru tahu kalau Jimmy cukup ahli mengutak-atik komputer. Kamarnya penuh dengan perangkat komputer dan CD master program. Beberapa kali saya diajak bermain game di rumahnya. Karena jasa Jimmy pula pengetahuan saya tentang komputer meningkat. Sayangnya, semua kelebihan itu tidak pernah membuat Jimmy ‘dianggap’ oleh teman-temannya. Jimmy tetap menjadi "Bocah yang Tersisih."

*    *   *

Kasus Jimmy hanya contoh kecil bagaimana seseorang tersisih dari pergaulan. Manusia cenderung pilih-pilh dalam berteman. Kebanyakan dari kita hanya akan berteman dengan orang-orang yang sekiranya memiliki minat yang sama. Kita pun menciptakan “pengkotak-kotakan” dan stratifikasi dalam pergaulan. Mereka yang tidak memiliki kesamaan minat atau dicap ‘berbeda’ akan ditempatkan di luar 'kotak' (tersisih).

Saat saya SMA, “pengkotak-kotakan“ semacam itu jelas terlihat (terutama di kalangan cewek). Ada kelompok cewek gaul. Ada kelompok cewek alim. Ada pula kelompok cewek rajin. Dalam pergaulannya, saya melihat ada jarak (GAP) antara cewek dari "kelompok rajin"  dan cewek dari "kelompok gaul." Begitu pula cewek dari "kelompok alim" dengan "kelompok gaul." Sementara mereka yang tidak bisa menjadi bagian dalam kelompok-kelompok itu cenderung tersisih.

Kelompok murid cowok pun begitu. Ada saja cowok-cowok ‘cupu’ yang tersisih dari pergaulan. Banyak alasan yang melatari bagaimana mereka bisa tersisih. Sebagian karena ketidaksamaan minat dengan kebanyakan teman-temannya, terlalu pintar, sangat polos, atau payah dalam hal olahraga. 

Saya rasa, kecenderungan semacam itu terjadi di sekolah manapun. Bahkan sampai saya kuliah pun, “pengkotak-kotakan” dan “alienasi” itu tidak pernah hilang. Ada kelompok mahasiswa “borju” yang doyan shopping dan nyalon. Ada kelompok mahasiswa blangsak  yang doyan mbolos dan nitip absen. Ada pula kelompok mahasiswa rajin-religius yang sering mangkal di masjid atau perpustakaan. Di luar itu semua, ada kelompok mahasiswa yang tidak jelas identitasnya, mereka yang introvert dan memiliki minat yang berbeda dengan teman-temannya. Golongan yang terahir ini lebih sering tersisih dalam pergaulan.

Di lingkungan masyarakat juga sama. Stratifikasi dan “pengkotak-kotakan” pergaulan juga terjadi. Kehidupan modern mendorong manusia semakin individualis. Orang-orang saling menatap sesamanya dengan penuh curiga. Rumah-rumah dibuat berpagar tinggi-tinggi. Persaingan gengsi mendorong perilaku konsumtif. Pun dengan menjamurnya sikap acuh pada kemalangan orang lain.

Saya sering membayangkan sekat-sekat antarkelompok itu tidak pernah ada. Saya membayangkan peradaban manusia yang tidak dibatasi sekat antarnegara, identitas suku, agama, profesi atau klan tertentu. Dengan begitu, kita bisa bebas untuk saling berbagi dan peduli satu sama lain.

Ketika kehidupan manusia tidak dibatasi sekat-sekat artifisial itu, tidak akan ada lagi kelompok yang tersisih dari pergaulan (termarjinalkan). Semua orang bebas untuk saling berbagi dan menolong sesamanya tanpa dibatasi suku, agama, ras, atau pangkat.

Para pejabat tidak akan sungkan berkotor-kotor menjamah pemukiman rakyatnya. Orang-orang kaya tidak risih memberi derma dan merangkul tetangganya yang lusuh papa. Satpol PP akan bermusyawarah dengan warga daripada melakukan penggusuran. Para kyai, polisi, pemuka agama, semuanya berkenan membawa ‘pelita’ di area lokalisasi. Tidak ada lagi prinsip “mengenyangkan perut sendiri.” Semuanya saling peduli untuk membantu mengentaskan sesamanya dari masalah.

Mengharapkan semua manusia berlaku seperti itu memang terdengar utopis. Tapi setidaknya, kita bisa memulainya dari lingkungan kecil kita terlebih dahulu. Kita bisa mendorong diri kita untuk lebih peduli pada teman-teman kita yang tersisih dari pergaulan. Ajak mereka untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan bersama. Berilah perhatian dan penerimaan yang tulus agar mereka merasa keberadaannya berharga. Karena yakinlah, tidak ada seorang pun di dunia ini yang merasa nyaman menjadi kelompok yang tersisih dari lingkungannya.

*    *   *

Sekitar dua bulan lalu, dalam sebuah reuni, saya bertemu dengan Jimmy. Itu adalah pertemuan pertama saya dengannya sejak SMP. Saya menyimak bagaimana Jimmy berinteraksi dengan teman-temannya saat itu. Saya baru menyadari jika Jimmy memiliki kecenderungan seorang introvert. Mungkin itu sebabnya, saat SMP Jimmy kesulitan untuk bisa diterima di lingkungan pergaulannya. Andai saat itu saya sudah tahu tentang hal ini, tentu saya akan mencoba menemani Jimmy agar tidak terus-terusan tersisih dari pergaulan.

Toh saya tetap bersyukur Jimmy telah menemukan dirinya yang baru. Sejak SMA, Jimmy mendapat perlakuan yang lebih baik dari lingkungannya. Dia tidak mendapat bullying separah teman-temannya di SMP. Jimmy beruntung bisa berkenalan dengan “orang-orang baik” yang menaruh kepedulian padanya. “Orang-orang baik” ini tidak suka membiarkan temannya kesepian dan tersisih. Mereka juga tidak sungkan berteman dengan siapa saja dan membenci “pengkotak-kotakan” dalam pergaulan. Mereka selalu ada untuk temannya baik pada saat senang maupun susah. Orang-orang inilah yang lebih pantas kita sebut sebagai “sahabat.”

0 comments:

Post a Comment