Subscribe:

Labels

Monday 22 February 2016

Lelucon yang Tidak Lucu (2)


Wajah dan tubuh bukanlah sesuatu yang pantas dibangga-banggakan,
apalagi ditertawakan
(Hatake Niwa)

*Agar tidak bingung membaca tulisan ini, silahkan membaca postingan sebelumnya di sini. 

Lelucon, lawakan atau yang dalam bahasa asing disebut jokes, pada dasarnya adalah salah satu seni berkomunikasi. Biasanya, jika kita ingin cepat akrab dengan seseorang, kita bisa menyelipkan lelucon ketika mengobrol dengannya. Lelucon yang digunakan dalam dosis tepat bisa mencairkan suasana obrolan. Lelucon juga bisa dipakai untuk menghibur perasaan lawan bicara dan mempererat keakraban dengannya.

Dewasa ini, lelucon telah menjadi semacam komoditas tersendiri yang mendapat jatah prime time di banyak stasiun TV. Kita lihat banyak sekali acara TV yang ‘memaksa’ penyiarnya melontarkan lelucon untuk mengocok perut penontonnya. Ada yang memakai konsep komedi situasi (sitkom), parodi, sampai pentas lawak tunggal (Stand Up Comedy).

Sampai sini, sebenarnya sah-sah saja menggunakan lelucon sebagai media hiburan atau sekedar bagian dari seni berkomunikasi. Hanya saja, dalam melontarkan sebuah lelucon, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga agar lelucon kita tidak menyinggung orang lain atau melanggar batas-batas etika. Lelucon yang disampaikan pada ruang dan waktu yang tepat bisa menghibur lawan bicara. Sebaliknya, lelucon yang disampaikan secara vulgar, jorok, lebih-lebih “verbal slapstick, terkadang bisa menyakiti perasaan lawan bicara.

Saya termasuk salah satu orang yang membenci verbal slapstick (jenis komedi yang menjadikan ejekan sebagai bahan lelucon). Ejekan yang dipakai biasanya menyinggung persoalan fisik seperti warna kulit, mata sipit, gigi mrongos, tinggi badan, dan sejenisnya. Verbal slapstick semacam ini sangat mungkin menyinggung perasaan orang lain yang tidak terima jika fisiknya dijadikan bahan lelucon.

Bayangkan jika kalian bertubuh pendek. Bagaimana perasaan kalian jika ada teman kalian yang bilang: “Lihat tuh, Si Cebol datang!” Atau jika mata kalian sipit, bagaimana perasaan kalian saat ada yang nyinyir: “Melek dong! Biar nggak nabrak-nabrak kalo jalan.” Meskipun kata-kata itu diungkapkan dalam acara dagelan, orang yang fisiknya dijadikan bahan lelucon belum tentu bisa menerimanya. Siapa yang bisa memastikan orang itu tidak akan tersinggung?

Salah satu dosen saya pernah terang-terangan mengatakan tidak menyukai acara Stand Up Comedy—karena adanya unsur menjelek-jelekkan orang lain di dalamnya. Boleh jadi maksud dosen saya adalah "verbal slapstick"  yang menjadikan aktivitas mengejek fisik orang lain sebagai bahan lelucon. Meski tidak semua comic menggunakannya, comic yang bijak tentu akan memilih untuk menghindari verbal slapstick semacam itu.

Hey…bukankah selera humor tiap orang berbeda-beda? Kenapa harus pusing jika ada orang yang tidak menyukai verbal slapstick?

Ya, memang selera humor tiap orang berbeda. Tapi di sini kita tidak sedang membahas perbedaan selera humor. Kita sedang mempersoalkan bagaimana menghindari verbal slapstick sebagai bentuk toleransi pada mereka yang secara fisik terlihat berbeda. Karena sekali lagi, tidak semua orang bisa menerima verbal slapstick. Sangat mungkin ada yang tersinggung atau merasa dilecehkan karena ketidaksempurnaan fisiknya dijadikan bahan lelucon.

Tidak ada perbedaan nyata antara penggunaan ejekan sebagai guyonan dan penggunaan ejekan sebagai bentuk penghinaan. Keduanya tetap berkonotasi negatif dan bisa menyinggung perasaan orang lain. Karena itu, daripada runyam ‘disembur’ orang yang tersinggung, pilihlah lelucon lain yang lebih netral.

Jika kalian ingin menggunakan verbal slapstick, maka gunakan fisik kalian sendiri sebagai bahan lelucon. Misalnya, jika tubuh kalian kurus, maka buatah lelucon tentang kekurusan tubuh kalian, bukan mengejek kekurusan tubuh orang lain. Kalian bisa mengatakan “Ahpunya tubuh kurus kayak saya itu rejeki. Siapa tahu besok bisa iklan produk obat cacing.” Sekalipun saat itu ada orang yang sama-sama kurus, dia tidak akan merasa tersinggung karena lelucon kalian didasarkan atas kondisi fisik kalian sendiri.

Belajarlah menghargai segala ciptaan Tuhan. Rupa, wajah, tubuh, semua itu adalah anugerah. Dan anugerah tidak patut kita bangga-banggakan, apalagi kita tertawakan. Dan sekali lagi, melawak dengan mengejek fisik orang lain itu sama sekali tidak lucu!

0 comments:

Post a Comment